| No comment yet

Awas Bahaya Brain Washing!!!!



Rame-rame perbincangan tentang Negara islam Indonesia (NII) kembali menggusik ingatan saya tentang kisah seorang teman mantan anggota NII. Bahkan pergerakan NII semakin dekat dengan kita, terakhir ada kabar dua mahasiswa UMM hilang. Mereka diduga menjadi korban penculikan disertai tindakan brain washing oleh pengikut NII (Radar Malang, 19 April 2011 ). Bahkan berita yang dilansir Radar Malang hari ini (20 April 2011) disinyalir praktek ini pun sudah terjadi di UB, UIN, dan beberapa perguruan tinggi lain di kota Malang.
Kisahnya memang tak jauh beda dengan kisah yang pernah dialami  oleh teman saya. Panggil saja Paimo (bukan nama sebenarnya), teman sebangku saya dari TK sampai SMA. Sebelumnya tak pernah terlintas sedikitpun dalam benak saya bahwa dia adalah seorang mantan warga NII, hinggga akhirnya dia sendiri yang bercerita tentang pengalaman pahitnya tersebut.  Namun tak mudah untuk kembali mengurai cerita darinya, dia lebih memilih menutup mulut ketika disinggung mengenai kisahnya. Pasalnya keikutsertaannya dalam organisasi tersebut  menjadi semacam trauma pribadi baginya. Menurutnya ketika seorang sudah menjadi warga NII, untuk keluar dari organisasi tersebut bukanlah perkara mudah, sebab keberadaannya akan selalu diawasi.
Tentang seperti apa dan seluk beluk NII saya sendiri kurang mengetahui, dalam beberapa literature yang saya baca NII merupakan kelanjutan dari DI/TII. Organisasi tersebut pada zaman soekarno diberangus karena dianggap membahayakan keutuhan Negara. Para pendiri NII waktu itu termasuk Sekarmadji Maridjan Kartosoewiryo berpendapat bahwa sistem pemerintahan saat itu harus di benah. Salah satu solusi yang ditawarkannya adalah mendirikan sebuah Negara di bawah Khilafah Islamiyah. Namun sekali lagi bagaimana sepak terjang DI/TII pada waktu itu saya juga kurang mengetahui, mungkin teman-teman sekalian bisa mencari di berbagai literature. Setahu saya (maaf kalo saya salah atau sok tahu) bersamaan dengan dibubarkannya NII kertasoewirya pun ditangkap karena diangap sebagai pemberontak.
Sedangkan mengenai NII yang saat ini keberadaanya meresahkan masyarakat banyak versi cerita yang menyatakan bahwa NII yang berada di bawah pimpinan Syekh Pandji Gumilang bukanlah NII yang se-visi dengan NII seperti pada awal berdirinya. Sebab banyak ajarannya yang justru melenceng dari ajaran Islam. Bahkan versi lain mengungkapkan bahwa NII saat ini hanyalah akal-akaln sekelompok orang untuk mengeruk materi pribadi dan kekuasaan dengan mendompleng ketenaran NII masa lalu. Yang jelas NII dianggap illegal karena mencoba mendirikan Negara di dalam Negara yang berdaulat.  Sekali lagi tulisan saya ini tidak akan mambahas banyak tentang NII namun saya tulisan saya ini lebih mencoba menceritakan ulang kisah seorang teman  mantan warga NII.
Kisah lengkapnya dituturkannya sendiri beberapa waktu lalu saat kami bertemu di kampung halaman. Saat itu ajakannya untuk ngopi tidak saya sia-sia kan, tentu saja dengan harapan bisa mengurai lebih banyak lagi tentangnya dan NII. Malam itu disebuah warung kopi berlatar pantai Utara Jawa perjumpaan kami ditemani temaram lampu umplik. Pada awalnya dia memang terkesan ogah-ogahan, bahkan tak sering dia lebih memilih topic pembicaraan lain. Namun seiring dengan makin tebalnya asap rokok yang dihisapnya, akhirnya pembicaraan kami mengalir begitu saja. Walaupun saya bukan seorang perokok ulung, namun demi bisa berlama-lama mendengarkan ceritanya, akhirnya saya mencicipi rokok yang ditawarkannya. Sambil sesekali menyeruput kopi kental  khas pantura yang kami pesan sebelumnya, satu per satu kisahnya pun diurai.
| No comment yet

Bukan Sebuah Syair



Cerita dari salah satu sudut teras utara pulau Jawa 

Memang bukan sebuah syair, apalagi puisi. Hanya sebuah pengamatan mata yang coba dibahasakan……..
Pantai Paciran di sore hari
Hamparan pasir tampak putih berbuih, kala sisa ombak merayap   
Hamparan pasir terasa panas menyengat telapak kaki yang berkeringat
Barisan Nelayan pulang dari melaut di sore hari
Camar-camar hitam terbang rendah melayang disekitar perahu nelayan
Daun kelapa  elok saat melambai mengikuti arah angin
Tampak ombak kejar-mengejar menuju karang
menampar tubuh pencari ikan
Semilir angin berhembus bawa dendang unggas laut
Seperti restui jala nelayan
Jingga Merona di kala Sunset
Gurau mereka memang akrab dengan alam, kudengar dari kejauhan
Dan batu-batu karang tertawa ramah bersahabat
namun jika dilihat dari dekat...korban Industrialisasi
Tapi itu dahulu berapa tahun yang lalu
Cerita orang tuaku, sangat berbeda dengan apa yang ada
Tak biru lagi lautku……………………..
Tak riuh lagi camar mu……………….
Tak rapat lagi jalamu……………………
Tak kokoh lagi karang…………………..
Tak buas lagi ombakmu………………..
Tak elok lagi daun kelapamu………..
Tak senyum lagi nelayanmu………….

cyrant beach, September 2010
 



| No comment yet

Balada Pedas Cabe


Saya berharap ada kisah yang bisa saya tulis pada perjalanan mudik kali ini dan kemudian saya post ke blog. Sebab seperti perjalanan-perjalanan sebelumnya, pasti selalu ada sesuatu yang bisa saya ceritakan pada pembaca blog saya. Dua, tiga jam di bersandarkan kursi DALI PRIMA belum juga ada inspirasi untuk menulis. Jalanan porong yang sore itu tertutup banjir lantaran hujan juga tak kunjung memberikan inspirasi saya untuk memulai menulis.
            Akhirnya setelah enam jam berlalu di dalam kendaraan, angin laut pantai utara Jawa menyapa. Tanda sebentar lagi rumah sudah dekat, artinya tidak ada yang bisa saya tulis dalam perjalanan pulang kali ini. Rumah yang berlantai ubin putih tersebut  kini telah benar-benar didepan  mata. Ingin sekali rasanya langsung rebah diatas kasur empuk kamar tidur yang tak setiap bulannya saya jamah. Belum lagi saya menikmati empuknya kasur, seorang saudara mulai membuka percakapan. Mulai tanya kabar, keadaan kuliah , dan ujung-ujungnya pasti pembicaraan kami tak jauh-jauh dari masalah pertanian. Maklum dari sejumlah saudara, hanya dua orang ini yang tertarik menggeluti dunia pertanian. Lebih tepatnya seorang sarjana pertanian dan calon sarjana pertanian. Pembicaraan kami terus bergulir hingga akhirnya kami sampai pada pembahasan harga cabe.
            Ya…benar sekali cabe  atau anak- anak pertanian (baca:batalion pertanian) biasa memanggilnya  Capsicum annuum L. benar-benar menjadi buah bibir akhir-akhir ini, apalagi kalau bukan masalah harganya yang gak pernah bisa diem. Kadang gara-gara saking murahnya, cabe seolah menjadi “komoditas tiri” di dunia pertanian. Namun ketika harga melambung tinggi petani pun bukannya meraih keuntungan besar. Pada saat-saat seperti itu petani justru menjadi konsumen cabe yang malah mengeluh sebab tak bisa menikmati pedas sambal dengan leluasa.
            Harapan yang tinggi mereka semai saat awal musim tanam cabe, namun sekali lagi cuaca yang tidak menentu menjadi penyebabnya. Cabe hanya mampu hidup tak lebih dari dua bulan lantaran kering kekurangan air. Nasib petani Indonesia memang sepedas rasa cabe, nasib jelek yang dialami petani tak melulu gara-gara cuaca. Seolah memancing dalam air keruh, para makelar cabe pun sering kali memain-mainkan harga demi keuntungan mereka sendiri. Saya pernah mengalami sendiri bagaimana rasanya menjadi petani cabe. Dua minggu sebelum panen raya harga cabe masih berada di kisaran Rp 20.000. Namun pada saat panen raya tiba harga cabe sekonyon-konyong berubah tinggal 1.000 rupiah. Kegembiraan petani seketika itu langsung hilang, bahkan untuk sekedar memanen pun mereka enggan. Alhasil puluhan hektar lahan pertanian di desa saya pun seolah menjadi kebun tanaman hias raksasa yang berisi tanaman cabe. Akhirnya nasib ribuan pohon cabe tersebut pun hanya dibiarkan mengering dan kembali ke tanah menjadi pupuk alami. Jangan tanyakan berapa kerugiannya, tanyakan saja mengapa tak ada upaya dari pemerintah untuk melindungi para petani. Yah begitulah nasib petani yang memilih bertanam komoditas Hortikultura (sayur dan buah). Untuk komoditas padi atau dalam hal ini beras pemerintah menerapkan harga dasar dan harga atap, tapi tidak demikian dengan komoditas horti.
            Di akhir percakapan kami, saya mendengar cerita tentang seorang petani cabe
| No comment yet

Bukan Kisahku


Diiringi gerimis kecil, langkah kecil itu kini mulai meninggalkan jajaran gedung Fakultas Pertanian. Lalu lalang mahasiswa yang pulang dan pergi seolah tak dihiraukan, Wajah yang terlihat kumal itu lebih memilih untuk tenggelam dalam sebuah renungan. Secarik kertas yang beberapa waktu sebelumnya sempat di rangkusnya, kini kembali dikeluarkannya dari dalam kantong. Dua digit angka yang tertulis dengan pulpen merah tersebut diamatinya kembali.  Entah mengapa setelah beberapa saat mengamati kertas tersebut, dia kemudian lebih memilih untuk mencari tempat sampah terdekat lalu membuangnya. Tiga belas semester sudah dia menyandang gelar mahasiswa, artinya satu semester lagi atau tidak sama sekali.
            Semakin sering timbul perdebatan dalam hati kecilnya, sebuah perdebatan tentang kelayakannya hidup di dua dimensi yang sama-sama harus diberikannya porsi yang berimbang. Ada yang bilang bahwa sesuatu yang sama belum tentu berimbang, tapi ternyata baginya susah untuk sekedar bisa memahami atau bahkan mendalami pendapat tersebut. Sering juga dia berkata pada juniornyanya bahwa ketika seseorang duduk diatas dua kursi maka skala prioritas menjadi harga mutlak. Ini tentang konsep manajemen waktu antara kesibukan seorang mahasiswa dan sisi lainnya sebagai seorang aktivis. Tapi seolah menelan ludah sendiri,kini untuk mengingatkan dirinya sendiri pun dia lalai. Namun sudah terlambat baginya untuk sekedar menyesal.
            Dua,atau tiga tahun lalu  hampir setiap ada aksi turun ke jalan, namanya sudah pasti masuk didalam barisan aksi. Baginya saat itu adalah aku bersuara maka aku ada. Sosoknya dulu dikenal diseluruh penjuru kampus sebagai seorang yang getol menyuarakan perubahan. “hapus pendidikan mahal bagi mahasiswa, tururnkan BHP atau rector yang turun” teriaknya gagah di depan rektorat kala itu sambil mengangkat tangan kiri symbol perlawanan. Saat melihat beberapa teman yang terlihat hanya sibuk belajar tanpa pernah terlihat di sebuah organisasi dia selalu melemparkan senyum sinis sambil bergumam dalam hati “ah, dasar korban kurikulum, budak komersialisasi pendidikan!”. Dia akan merasa semakin gagah di muka teman-temannya manakala tidak masuk kuliah dengan membawa surat keterangan izin mengikuti aksi.
            Langkahnya kini mulai memasuki  pemukiman kerto yang padat penduduk. Gang-gang sempit yang hampir tujuh tahun dilewatinya seolah  mulai bertanya tentang janjinya pada awal-awal dia masuk di kota malang. Masih segar diingatannya  ketika tiga tahun lalu di sebuah pagi buta. Saat sebagian besar warga masih terlelap, dia sudah bergegas dengan bawaan peralatan ospek yang sudah disiapkannya malam sebelumnya.  Langkahnya pagi itu terlihat giat, senyumnya tersungging lebar. Dingin kota malang yang menggigil seolah tak dihiraukannya. Sesampainya di kampus para senior yang sudah menunggu langsung mengucapkan salam selamat datang  “Tani….!!!!!”. “Joyo…..!!!!!” jawabnya sambil mengangkat tinggi-tinggi tangan kirinya wujud sebuah kebanggan terhadap almamater. Baginya sebuah kebanggan tersendiri bisa mengecap pendidikan di perguruan tinggi negeri  favorit di Jawa Timur.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Followers