Kartini-Ku
Tri Sumber Urip itu berjalan berjalan lambat, sementara di dalamnya tergolek seorang ibu paruh baya dengan perut yang makin membuncit. Bersandarkan kursi bus yang sudah terlihat kusam, Ibu tersebut mencoba mengambil posisi duduk terbaik sambil sesekali memegangi perutnya. Sementara sang suami terlihat lelah setelah beberapa hari sebelumnya mengorbankan waktu tidurnya, maklum hampir tiap malam harus mengorbankan waktu tidurnya.
Sambil memandangi langit-langit bus yang terlihat hampir mau roboh sang suami meratapi nasib hidupnya yang jauh dari kata berkecukupan. Suara jeritan pintu bus yang diterpa angin membuat lamunannya bertambah dalam.
Tapi itulah hidup, semua tentang jejak kehidupan seseorang sebenarnya sudah tertulis. Manusia tinggal menjalani, berusaha, dan mensyukuri. Begitulah prinsip yang dia pegang, paling tidak hingga malam ini. Hari semakin malam, Lasem, Rembang, Demak sudah terlewati , Bus jurusan Tuban-Jakarta itu kini mulai merayap memasuki kota Kudus dan hilang tertelan keheningan malam kota wali tersebut.
*****
“Kalau memang itu keputusan terbaik ya mau gimana lagi???”
“Iya daripada sang ibu yang harus meregang nyawa”
“jadi lebih baik di check dahulu kesehatan ibu dan anaknya, jika masih belum memungkinkan untuk dipertahankan, ya tidak ada jalan lain kecuali bayi harus dilepas” .
“bagaimana??”
tanya Pak Jono kepada Inah, bermaksud menegaskan. Inah akhirnya mengiyakan usulan forum tersebut.
Awalnya memang tak mudah bagi Inah untuk menerima vonis dokter, sebab vonis tersebut mengatakan bahwa bayi yang dikandungnya berada di luar kandungan. Jika hal ini terus berlangsung maka hanya ada dua kemungkinan yaitu menyelematkan sang bayi dengan mengorbankan nyawa sang ibu atau sebaliknya. Walaupun ada kesempatan hidup untuk keduanya, namun prosentasenya sangat kecil. Jadi dalam kasus seperti ini untuk meminimalisasi resiko memang harus ada yang dikorbankan.