| 2 comments

Kartini-Ku

                  Tri Sumber Urip itu berjalan berjalan lambat, sementara di dalamnya tergolek seorang ibu paruh baya dengan perut yang makin membuncit. Bersandarkan kursi bus yang sudah terlihat kusam, Ibu tersebut mencoba mengambil posisi duduk terbaik sambil sesekali memegangi perutnya. Sementara sang suami terlihat lelah setelah beberapa hari sebelumnya mengorbankan waktu tidurnya, maklum hampir tiap malam harus mengorbankan waktu tidurnya.

                  Sambil memandangi langit-langit bus yang terlihat hampir mau roboh sang suami meratapi nasib hidupnya yang jauh dari kata berkecukupan. Suara jeritan pintu bus yang diterpa angin membuat lamunannya bertambah dalam. 

        Tapi itulah hidup, semua tentang jejak kehidupan seseorang sebenarnya sudah tertulis. Manusia tinggal menjalani, berusaha, dan mensyukuri. Begitulah prinsip yang dia pegang, paling tidak hingga malam ini. Hari semakin malam, Lasem, Rembang, Demak sudah terlewati , Bus jurusan Tuban-Jakarta itu kini mulai merayap memasuki kota Kudus dan hilang tertelan keheningan malam kota wali tersebut.
*****
“Kalau memang itu keputusan terbaik ya mau gimana lagi???” 

“Iya daripada sang ibu yang harus meregang nyawa” 

“jadi lebih baik di check dahulu kesehatan ibu dan anaknya, jika masih belum memungkinkan untuk dipertahankan, ya tidak ada jalan lain kecuali bayi harus dilepas” .

“bagaimana??”
tanya Pak Jono kepada Inah, bermaksud menegaskan. Inah akhirnya mengiyakan usulan forum tersebut. 

               Awalnya memang tak mudah bagi Inah untuk menerima vonis dokter, sebab vonis tersebut mengatakan bahwa bayi yang dikandungnya berada di luar kandungan. Jika hal ini terus berlangsung maka hanya ada dua kemungkinan yaitu menyelematkan sang bayi dengan mengorbankan nyawa sang ibu atau sebaliknya. Walaupun ada kesempatan hidup untuk keduanya, namun prosentasenya sangat kecil. Jadi dalam kasus seperti ini untuk meminimalisasi resiko memang harus ada yang dikorbankan.
| No comment yet

Bunga Terakhir


Mata Julian masih belum bisa terpejam barang sedetik pun, padahal jarum pendek  jam sudah menunjuk pada angka sebelas. Sementara itu hembusan angin malam di luar semakin terdengar kencang, diiringi suara butiran hujan yang beradu dengan genting tetangga. Langit-langit kamar pun menjadi pemandangan yang akrab pada  beberapa malam terakhir. Sesekali  matanya mencoba mengintip selembar photo yang masih tersimpan dalam dompetnya, tapi sesering itu pula dia menanamkan pada dirinya bahwa hari sudah berganti,dan begitupun juga seharusnya suasana hatinya.
*********
Semua tentang ratna adalah semua tentang kesederhanaan, mulai dari cara berpakaian hingga wujud nyata dalam sikapnya sehari-hari.  Pembawaannya kalem khas wanita jawa, paras ayu yang mligi jowo  tersembunyi  di balik kerudung yang setia membalut kepalanya. Kulit putihnya bukan hasil permak pabrik namun hasil karya tulen sang pencipta. Senyumnya renyah, bagai krupuk pada tahu campur yang seringkali mereka santap bersama di kantin sekolah. Sapanya hangat, tak jarang Julian menyetarakannya dengan segelas teh yang tiap pagi menemaninya sebelum berangkat sekolah .  Untu miji delimo, begitu mungkin ibarat orang jawa membahasakan rapi susunan giginya.  Namun hanya beberapa orang yang beruntung saja yang bisa melihat giginya. Sebab tiap kali tersenyum, punggung tangannya yang putih selalu menutupi mulutnya.  Tak butuh waktu lama bagi Julian untuk mengagumi  sosoknya. Namun bukan pula love at the first sight layaknya di roman klasik cerita mereka bermula.
Semua mengalir begitu saja, kadang rasa tersebut hilang namun tak jarang menyala-nyala bagai temaram lampu umplik yang malam itu menerangi pertemuan mereka di salah satu warung kopi. Kadang kisah mereka juga pahit sepahit kopi yang malam itu diseruputnya sebelum memberanikan diri mengungkapkan perasaannya. “ kalau malam saja memberikan kesempatan pada bulan untuk tiap hari menemaninya, kenapa aku tidak” jawab Ratna malam itu sambil tersenyum simpul. Praktis setelah malam itu, semua berjalan manis bahkan tak jarang dua sejoli tersebut lebih mirip dua tokoh dalam roman picisan daripada dua orang aktivis.
| No comment yet

Sarjana, Pengangguran Terselubung



          Tiba-tiba kerumunan manusia berbalut busana toga tersebut mendekatiku yang sedang duduk bersila disalah satu sudut gedung widyaloka UB. bukan lagi dua atau tiga orang, namun jumlahnya bisa kupastikan ribuan. sementara mereka terlihat letih mengikuti ceremonial acara, tampak disamping mereka beberapa handai taulan yang sudah sedari pagi menunggu di depan gedung tempat acara.

Dari kejauhan nampak seorang ibu menggenggam erat pergelangan tangan putranya, sambil sesekali mengusap air matanya tanda bangga. Di sudut lain beberapa orang nampak coba mengabadikan momen dengan berfoto-foto, mungkin fikir mereka ini adalah momen terakhir sebelum mereka benar-benar meninggalkan almamater tercinta.

Rasa bangga, haru dan bahagia memang selalu menghiasi momen wisuda sarjana seperti hari ini. Betapa tidak, penantian panjang para orang tua hari ini seolah terjawab tuntas. Buah hati mereka kini resmi menyandang gelar sarjana, pada hari ini juga pikiran mereka pun akan sekilas melayang ke beberapa tahun ke belakang. Asa tinggi mereka semai saat itu. Saat pertama kali “menitipkan” anak mereka di sebuah perguruan tinggi. Bagi mereka tak jadi masalah harus menjual sawah asalkan buah hati mereka mendapatkan service terbaik dalam akademik. Dan hari ini juga, berbekal ijazah hasil keringat selama empat tahun, para orang tua pun kembali menggantungkan harapan agar kelak anak mereka bisa mendapatkan kerja demi jaminan masa depan yang lebih baik.

Di Universitas Brawijaya sendiri pemandangan seperti ini bisa terjadi empat sampai lima kali setahun. Untuk satu kali wisuda mereka menelurkan paling tidak 1000 mahasiswa, artinya dalam satu tahun jumlah sarjana dari UB bisa mencapai 5000 orang. Namun yang selama ini menjadi pertanyaan besar saya adalah akan kemanakah ribuan sarjana tersebut setelah di wisuda??? tak akan jadi masalah jika kemudian mereka langsung mendapatkan pekerjaan, masalahnya dalam konteks riilnya justru perguruan tinggi adalah penyumbang terbesar pengangguran di Indonesia. Logika bodohnya begini, UB hanyalah salah satu perguruan tinggi di kota Malang, padahal di kota apel ini ada puluhan perguruan tinggi. Belum lagi di sakala jawa timur, dan yang tak terbayangkan lagi adalah akumulasi jumlah sarjana di Seluruh Indonesia, bandingkan dengan jumlah lapangan pekerjaan di negeri yang katanya Gemah ripah loh jinawi ini. (was published in kompasiana.com)

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Followers