Suatu Pagi di Tanggal 24


Jarum pendek jam belum lama beranjak dari angka delapan saat kupastikan bahwa kemejaku sudah rapi dengan setelan Almamater dan celana hitam. Sepatu kulit yang baru kubeli beberapa bulan lalu sedikit ku poles, sekedar menghilangkan debu-debu yang menempel.
“mau kau apakan aku?”
“mau ku pakai”
“untuk apa?”
“berangkat ujian, aku sudah empat tahun lamanya menantikan saat-saat ini”
“ah aku ndak sudi, kau yakin setelah itu aku tak kau gunakan untuk mondar-mandir dalam keputusasaan mencari kerja?”
“ah diam kau, biarlah hal tersebut menjadi urusanku dengan tuhanku”
Sepatu tersebut kini pun sudah rapi membalut kakiku. Langkah kaki terasa berat pagi itu, betapa tidak, hari itu merupakan hari pertaruhan masa studiku selama empat tahun. Tak lama kupanasi motorku, kemudian kusempatkan berpamitan dengan bu kos sebelum aku benar-benar berangkat pagi itu.
Tak terasa sudah hampir empat tahun aku melalui gang-gang sempit ini, aku masih ingat empat tahun lalu ditengah dinginnya angin subuh aku juga merasakan ketegangan seperti ini. Waktu itu aku bergegas setengah berlari menyusuri gang tersebut, maklum saat itu aku takut kena hukum senior ospek. Kini setiap tikungannya menjadi saksi bisu pertaruhan studiku hari ini. Bentakan senior tiap pagi itu pun sebentar lagi berganti dengan pertanyaan-pertanyaan kritis nan berbobot dari dosen.
Tak sampai 15 menit akhirnya aku dan motor butuku tiba di kampus. Parkiran tampak lengang, tak ada senyum sapa dari pak parkir pagi ini. Ah mudah-mudahan saja hal tersebut bukan pertanda buruk. Degup jantung kian kencang seirama dengan langkah kaki yang semakin mendekat dengan ruang ujian.
Mas topan yang tiap pagi biasa ku sapa, kali ini kubiarkan sibuk mengelap kaca kampus. Sambil menunggu pak Didik membuka ruang ujian, aku pilih tempat duduk di salah satu sudut. Kursi yang tiap hari digunakan untuk menunggu dosen pun kurasakan berbeda pada sandarannya pagi itu.
“heh! mau apa kau pagi-pagi sudah kesini?”
“ujian,”sahutku ketus.
“asal kau tahu, tempo hari ada mahasiswa yang duduk disini, setelah keluar dari ruang ujian kulihat dia menangis kecewa”
“memangnya dia kenapa?”
“kudengar sih dia dibantai dosen saat ujian. Sudahlah pulang saja, kalau mau ijazah beli saja di kampus sebelah. Tak perlu repot-repot ujian skripsi, sudah banyak toh contohnya. Bahkan beberapa dari mereka kini sudah duduk nyaman di gedung dewan ”
“enak saja!kau diciptakan untuk diduduki bukan untuk menasihatiku,”Sergahku.
“yah itulah bedanya aku dengan kawan-kawanku di gedung dewan, mereka diciptakan bukan untuk sekedar diduduki. Mereka diperebutkan demi jabatan dan gengsi, tak peduli bagaimana caranya mereka mendapatkan kursi tersebut”
“ya sudah pindah saja kau ke gedung dewan sana jika kau ingin jadi bahan rebutan ribuan caleg dengan ijazah palsu”
“Hei anak bawang, jangan sok tau kau”
“Bukankah sudah ribuan mahasiswa yang tiap akan ujian memilih untuk menyandarkan diri sejenak disini? seharusnya kau bangga bisa menjadi bagian dari sejarah kesuksesan para calon-calon penerus bangsa. Bandingkan dengan kawan-kawanmu disana, mereka hanya menjadi sandaran tidur saat rapat para preman berdasi,”tuturku sambil berlalu.
Setengah jam sudah aku menunggu di depan ruang ujian, hampir semua mahasiswa yang akan menjalani ujian bisa dipastikan merasakan apa yang kurasakan pagi ini. Waktu terasa menjadi lebih lambat berlalu, tiap malam kerap kali terbangun di tengah tidur. Bayangan akan orang tua seolah menjadi lagu pengantar menjelang tidur. Pribadi yang sebelumnya jauh dari tuhan bisa dipastikan akan berbalik seratus delapan puluh derajat. Setiap doa adalah rengekan, setiap langkah tak ubahnya sebuah perhitungan.
“saudara yakin sudah siap?,” sapa pak Wahib memecah lamunanku.
“Insya Allah pak,”jawabku dengan setengah tergopoh.
Ternyata pak wahib datang lebih awal dari dosen-dosen penguji lain, bahkan sebelum ruang ujian dibuka. Yah itulah pak Wahib, banyak teman yang iri sebab aku mendapatkan dosen pembimbing sebaik dia. Selain terkenal santun, pria 56 tahun ini juga enggan membuat mahasiswanya repot dengan revisi-revisi skripsi.
Tak lama berselang pak Didik datang dengan membawa kunci ruang ujian, begitu pintu dibuka kurasakan aura berbeda pada setiap sudut ruangan tersebut. Setelah LCD kupastikan terpasang pada leptopku, Prof.Nuhfil salah satu dosen penguji lain datang. Setelah itu disusul oleh Bu Dina datang dengan mengetuk pintu. Pagi itu Bu Dina kulihat sangat anggun dengan setelan baju kurung batik dipadu celana hitam. Ibu dua anak tersebut semakin terlihat tinggi semampai dengan Highels yang dikenakannya. Senyumnya yang merah merekah sedikit mengurangi keteganganku pagi itu. “Bu Dina Cantik” begitu teman-teman memberi gelar pada Bu Dina yang satu ini, maklum di kampus setidaknya ada tiga dosen dengan nama Dina. Jadi untuk lebih memudahkan menyebut Bu Dina yang satu ini secara alami teman-teman menambahkan kata “cantik” dibelakang namanya. Kalau tidak percaya silahkan lihat di Phonebook para mahasiswa utamanya mahasiswa cowok, nomor HP bu Dina yang satu ini pasti diberi nama “Bu Dina Cantik”.
Hari itu aku bisa dikatakan memang agak beruntung, sebab salah satu dosen pengujiku berhalangan hadir. Namun hal tersebut nampaknya tidak mengurangi rasa deg-deganku. Dan akhirnya sesaat lagi ujian akan segera dimulai. Pintu ruangan ditutup, Bu Dina sebagai ketua Majelis penguji pun membuka forum tersebut.
Are you ready for this exam?,”tanyanya.
Yes I’am!”
Oke, before we start this forum, I give you a minute for praying
Akupun menundukkan kepala sembari memanjatkan doa. Ketika aku kembali pada posisi semula semuanya pun berubah. Pak wahib yang tadi pagi kulihat ramah, kini sudah bersiap dengan pakaian perang lengkap dengan trisula dan perisai. Prof.Nuhfil yang terkenal santai, kulihat sedang sibuk mengasah pedang. Sementara di punggungnya terkalung sebilah tombak dengan posisi siap serang. Belum lagi Bu Dina, wanita yang barusan kulihat anggun dengan balutan jilbab coklat tersebut kini terlihat sedang mengasah anak panah dan menyiapkan busurnya.
Ah tentu saja itu semua hanya khayalan lebayku, namun yang pasti ketiga dosen tersebut kini sudah siap dengan pertanyaan-pertanyaan mereka. Presentasi pun kumulai, dengan bahasa inggris yang serba blepotan tentunya. Tak sampai 10 menit aku menyelesaikan presentasiku, dan inilah saat-saat yang paling mendebarkan. Pertanyaan dari dosen!

Prof. Nuhfil menjadi penguji pertama yang melontarkan pertanyaan, sudah kuduga Guru besar yang satu ini pasti lebih suka dengan grafik-grafik. Setiap garis yang ku gambar menjadi celah pertanyaan baginya. Data-data dari Disperindag yang kusajikan juga seolah semakin memacu imajinasinya untuk semakin menggali jawaban dariku. Beberapa kali aku terdiam karena pertanyaannya, sesering itu pula akhirnya aku menjawab “maaf bapak saya kurang menguasai materi tersebut”. Jika sudah begitu beliau akan menggantinya dengan pertanyaan lain. Akhirnya 45 menit permainan grafikku diakhiri dengan saran dari beliau, mulai dari saran penelitian hingga saran moral.
Sambil memain-mainkan pulpennya kini Bu Dina siap dengan pertanyaan-pertanyaan selanjutnya. Hampir setiap lembar latar belakangku mendapatkan koreksi darinya, begitu juga tabel-tabel yang ada di bab tersebut. Belum lagi Kerangka pemikiran, bab tersebut seolah menjadi santapan empuk baginya. Apalagi menurutnya penulisanku mengenai kerangka pikir cenderung kurang konsisten dengan perumusan masalah. Dan akhirnya memang hasil dan pembasahanku menjadi bulan-bulanan baginya. Tapi sekali lagi cara menyampaikannya yang kalem membuatnya terasa bukan sebagai penguji, justru aura keibuannya makin terlihat.
Kini giliran pak Wahib, sudah kuduga dari bapak yang satu ini yang muncul pasti hanya saran-saran moril. Sambil menganggukkan kepala aku mengiyakan apa yang dikatakannya. “Ah terima kasih bapak , tujuh bulan sudah aku jadi bimbinganmu,” gumamku dalam hati.
Hampir 2 jam sudah aku di ruangan tersebut, tak kurang dari lima menit lagi forum akan ditutup.
oke I think enough for today, congrats for you,” tutup Bu Dina sembari tersenyum kecil.
Setelah itu ku salami semua dosen sambil kucium tangan mereka, tak terasa sudah empat tahun mereka jadi orang tuaku di kampus.
Angin segar seolah berhembus ketika pintu ruang ujian tersebut dibuka, sambutan dari beberapa teman yang sedari tadi menunggu di depan ruang ujian membuat ketegangan yang kurasakan pagi tadi semakin menghilang. Setelah mereka satu per satu meninggalkan tempat tersebut kini aku bersandar pada bangku yang tadi pagi kududuki untuk sekedar melepas penat. Hingga tanpa terasa aku sampai pada suatu lamunan. Lamunan terhadap dua orang yang harusnya menerima kabar bahagia bahwa ujian ku lancar pagi ini. Juga lamunan tentang 493.000 orang yang menyandang predikat pengangguran setelah menjalani ritual wisuda. Akhirnya lamunanku memang seolah tengggelam dalam hilir mudik mahasiswa siang itu.



Malang, 24 Juli 2012

Dalam lembaran skripsiku juga kuselipkan lembar persembahan untuk mereka


Reply to this post

Posting Komentar

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Followers